Skip to main content
Popular Press
Rasionalisasi Pendidikan Tinggi
Kompas (2018)
  • Hadi Nur, University Technology Malaysia
Abstract
Seperti yang sudah dimaklumi, tugas pokok perguruan tinggi adalah untuk berperan aktif dalam perbaikan dan pengembangan kualitas kehidupan, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan kerjasama internasional untuk mencapai kedamaian dunia untuk kesejahteraan umat manusia.

Rasionalisasi pendidikan tinggi

Mungkin sudah saatnya kita melihat kembali, merefleksikan diri dan melihat disekeliling kita, apakah pendidikan tinggi perlu dirasionalisasikan. Kita perlu melihat persoalan ini dari luar orbit. Perlu kesadaran baru, yang tidak saja melibatkat nalar tetapi juga kesadaran batin. Mungkin perlu kesadaran bahwa sistem pendidikan tinggi telah terbelenggu dan tidak memiliki kebebasan. Bebas dari sistem kapitalisme pengetahuan, sosial, ekonomi dan politik yang membentuk dunia saat ini. Kesadaran liberasi dan transformasi untuk membebaskan diri sangat diperlukan. Banyak perguruan tinggi yang tanpa sadar, terpaksa atau dipaksa untuk ikut tren dan mungkin melenceng dari tujuan asalnya didirikan.
 
Pendidikan tinggi perlu orisinal. Dalam arti, pendidikan tinggi mesti menyelesaikan permasalahan mendasar yang dihadapi oleh bangsa dan negara. Sistem yang ada sekarang ini memaksa golongan yang lemah untuk menjadi pengikut. Pengikut hanya berfungsi sebagai konsumen. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan tinggi yang sangat kuantitatif dan komersial. Pemain-pemain besarnya adalah perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan riset dan pendidikan tinggi seperti ElsevierClarivate Analytics dan Quacquarelli Symonds (QS). Secara langsung dan tidak langsung, disadari dan tidak disadari visi dan misi dari pendidikan tinggi juga dikontrol oleh kekuatan yang sepertinya sangat rasional ini. Akibatnya banyak universitas yang menjadi agresif, dan kadangkala meninggalkan wisdom-nya.
 
Pendidikan tinggi menjadi rasional secara detail, tetapi irasional secara umum. Nampak rasional dengan instrumen-instrumen yang terukur pada tingkat administrasi keilmuan seperti indikator dari hasil penelitian dalam bentuk bibliography data, tetapi irasional pada tingkat kontribusi nyata kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan memanusiakan manusia Indonesia. Sampai saat ini, kita masih menjadi konsumen dibandingkan produsen dari produk-produk teknologi. Pendidikan tinggi perlu diletakkan pada tujuan asalnya, iaitu pendidikan tinggi yang berdaulat, bermartabat dan memanusiakan manusia. Perlu perenungan dan refleksi untuk bertanya, apakah kita sudah merdeka atau menjadi budak sukarela dari kekuatan yang membentuk sistem pendidikan tinggi saat ini?
 
Kritik terhadap PT
 
Herbert Marcuse dari Institute for Social ResearchThe Frankfurt School mengatakan bahwa masyarakat dunia sekarang sudah menjadi sistem satu dimensi. Salah satu cirinya adalah terjadinya administrasi total. Terjadi administrasi total dari pendidikan tinggi, dimana segala hal diatur, sehingga keunikan dan potensi setiap universitas yang beragam itu menjadi hilang. Sebagai contoh, semua dosen dan mahasiswa pasca sarjana wajib dan dipaksa mempublikasikan hasil penelitian mereka dijurnal yang berindeks (Scopus dan Clarivate Analytics). Dengan cara ini, universitas lebih memikirkan hasil daripada proses. Tidak peduli apakah universitas tempat dosen tersebut bekerja mempunyai fasilitas laboratorium yang memadai atau tidak. Walaupun kebijakan ini positif dan rasional untuk memaksa dosen mempublikasikan karyanya, namun perlu dikaji apakah kebijakan ini dapat memanusiakan manusia, memartabatkan dan mendaulatkan pendidikan tinggi.
 
Hal ini menjadi dilema ketika riset, dan teknologi disatukan dengan pendidikan tinggi. Hikmah atau esensi dari pendidikan tinggi adalah menghasilkan wisdom. Lulusan dari perguruan tinggi, disamping memperoleh skill, tetapi juga memperoleh wisdom dari proses pendidikan tersebut. Dilain pihak, hikmah dari riset dan teknologi adalah produk. Sangat jelas, hikmah dari riset dan teknologi dan pendidikan tinggi itu tidak sama. Indikatornya juga berbeda. Sehingga terjadi dilema terhadap kebijakan yang diambil untuk memajukan riset dan teknologi dan pendidikan tinggi secara sekaligus, karena hikmahnya berlainan. Pendidikan menjadi kehilangan fokus kepada pembangunan manusia, karena juga mengejar fokus yang lain.
 
Kebijakan publikasi ini bagus untuk shock therapy, untuk menumbuhkan kesadaran ilmiah, dan juga memberikan kesadaran pentingnya teks dalam ilmu pengetahuan. Penelitian tanpa teks adalah nothing. Saya diberitahu bahwa analogi dari kebijakan ini seperti proses mencapai khusyu dalam shalat. Bagaimana kita akan khusyu dalam shalat jika kita tidak tahu bacaan shalat dan tidak teratur melaksanakannya. Ini ibarat, bagaimana kita dapat mempublikasikan hasil penelitian di jurnal ternama, jika menulis dan membuat riset saja jarang atau tidak pernah. Untuk jangka panjang, strategi yang tepat yang memperhatikan kondisi riil dari perguruan tinggi dan masyarakat sangat diperlukan. Jangan sampai, dehumanisasi, agresivitas dan individualistik dihasilkan dari kebijakan yang diambil. Ini masalah yang timbul dalam dunia modern yang banyak diidiskusikan oleh para filsuf dan budayawan, dan juga saya rasakan sebagai dosen di perguruan tinggi.
 
Ciri kedua sistem satu dimensi adalah, penggunaan istilah-istilah fungsional. World Class Universityuniversity rankingh-indexcitation dan lain sebagainya adalah istilah-istilah fungsional yang digunakan dalam pendidikan tinggi. Banyak universitas yang latah dengan istilah World Class University, tanpa mengetahui apa hakikat sebenarnya dari istilah itu. Hal ini saya alami sendiri. Ketika memberikan ceramah diberapa universitas di Indonesia, yang paling ditonjolkan sebelum saya memberikan ceramah adalah hanya berkaitan dengan h-indexcitation, padahal itu hanya merupakan informasi bibliografi, yang tidak semestinya berkaitan dengan prestasi keilmuan seseorang. Seringkali kita salah kaprah dalam memandang prestasi keilmuan. Tidak selalunya tingginya h-index bermakna tingginya kualitas riset, dan tidak selalunya rendahnya h-index bermakna rendahnya kualitas riset. Bahkan, h-index dapat tinggi hanya dengan menulis review article, tanpa melakukan riset di laboratorium. Kita dudukkan dulu apa arti salah kaprah. Dalam bahasa Inggris pengertian salah kaprah adalah “having or showing faulty judgment or reasoning” yang maksudnya adalah menunjukkan penilaian atau penalaran yang salah terhadap sesuatu. Persepsi dapat dibentuk oleh media (termasuk media sosial). Seringkali kita salah kaprah memandang prestasi keilmuan orang atau institusi karena media memberikan informasi dan penjelasan yang tidak tepat. Seringkali informasi tersebut sengaja dibesar-besarkan supaya menarik perhatian. Padahal salah kaprah. Bagi orang yang tidak mengerti bidang-bidang keilmuan tertentu, kadang-kadang mereka hanya melihat pencapaian itu hanya dari bibliographic data seperti citationh-index dan lain sebagainya dari Scopus atau Clarivate Analytics. Permainan angka ini sangat rawan terhadap manipulasi dan permainan dengan indikator angka. Tidak semua proses pendidikan dapat diangkakan.
 
Ciri ketiga adalah pencitraan. Banyak universitas-universitas sudah terjebak dengan pencitraan yang menggunakan istilah-istilah fungsional, seperti World Class University dan university ranking tersebut.
 
Proses epistemologi
 
Saya melihat permasalahan ini dari perspektif proses epistemologi. Dengan begitu, diharapkan kita dapat melihat apakah proses yang dijalani ini sudah benar. Proses epistemologi (epistemological process) dimulai dengan ketidaktahuan, keragu-raguan atau rasa ingin tahu. Pengetahuan itu adalah kombinasi antara pengalaman (experience) dan penjelasan akal (reason). Penjelasan dengan akal saja tanpa pengalaman hanya akan menghasilkan hal-hal yang sifatnya spekulasi atau kemungkinan-kemungkinan. Kombinasi pengalaman (experience) dan penjelasan akal (reason) akan menghasilkan pengetahuan (knowledge). Kalau pengetahuan dikelola, diolah dan dirumuskan dengan rapi dan tertib maka tingkatnya akan naik menjadi sains (science). Oleh karena itu, pengetahuan tidak akan berkembang jika pengalaman ilmiah dan riset -- yang diterjemahkan kepada fasilitas dan dana riset, dan juga ketersediaan waktu dari dosen untuk melakukan riset -- tidak diperhatikan dan dikelola dengan baik. Akibatnya, proses epistemologi tidak akan berlangsung dengan baik jika semua perangkat penunjang untuk mendapatkan pengalaman ilmiah dan riset itu tidak lengkap dan tersedia. Sebagai orang yang berkecimpung dalam riset kimia, saya mengatakannya sebagai "sastra kimia", iaitu ilmu kimia yang dihasilkan tanpa adanya fasilitas laboratorium, hanya sekedar berteori saja tanpa ada proses pengalaman riset di laboratorium. Berbeda dengan ilmu-ilmu yang hanya mengandalkan kertas dan pena saja, seperti ilmu ekonomi dan sastra, tanpa fasilitas laboratorium yang lengkap, karya ilmiah mustahil untuk dihasilkan dari sains kimia.
 
Apa yang perlu dilakukan? Kita mesti berani untuk berpikir dan memikirkan kembali dan membentuk ulang pendidikan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negara. Arah dan juga landasan yang kukuh harus didudukkan dan ditentukan untuk membawa pendidikan tinggi untuk masa depan. Perlu inovasi untuk menjadikan pendidikan tinggi berdaulat, bermartabat dan memanusiakan manusia. Semua elemen yang terkait dengan pendidikan tinggi, seperti cendekiawan, budayawan, ilmuwan dan teknokrat perlu duduk untuk membuat cetak biru pendidikan tinggi Indonesia, yang sampai saat ini tidak kita miliki.
Keywords
  • Pendidikan tinggi,
  • Universitas
Disciplines
Publication Date
May 5, 2018
Citation Information
Hadi Nur. "Rasionalisasi Pendidikan Tinggi" Kompas (2018)
Available at: http://works.bepress.com/hadi_nur/208/